Selasa, 29 Maret 2011

Gerakan Koin Sastra Serahkan Alat Digitalisasi Koleksi PDS HB Jassin

Selasa, 29/03/2011 14:51 WIB
Adi Nugroho - detikNews


Jakarta - Gerakan Koin Sastra menyerahkan 6 personal computer (PC), 2 printer dan 3 scanner untuk Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Alat itu diharapkan bisa menyimpan koleksi PDS HB Jassin dalam format digital.

Seperangkat alat-alat komputer hasil sumbangan masyarakat itu diserahkan oleh salah satu penggagas gerakan Koin Sastra, Khrisna Pabichara kepada pengelola HB Jassin yang diwakili Endo Senggono, di PDS HB Jassin, kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Selasa (29/3/2011).

"Hari ini kita serahkan secara simbolik bantuan yang terkumpul dari masyarakat baik secara pribadi maupun lembaga, bantuan berupa PC, scanner, dan printer yang akan kita gunakan untuk program digitalisasi literatur koleksi PDS HB Jassin yang akan kita mulai minggu depan," jelas Krishna.

Digitalisasi koleksi ini bertujuan agar masyarakat, bisa membuka dokumen tanpa harus datang ke Jakarta. Dengan digitalisasi kebiasaan foto kopi dokumen yang membahayakan pun bisa diminimalisir. 

Jumlah bantuan alat-alat komputer itu mendekati kebutuhan PDS HB Jassin yakni, 10 unit PC, 1 printer dan 1 mesin fotokopi. Selain menyerahkan alat-alat komputer, Koin Sastra juga menyediakan 48 relawan yang akan melaksanakan program digitalisasi koleksi PDS HB Jassin.

"Target kami, kita usahakan selesai 6 bulan (dari sekarang). Relawan kita terjunkan, tiap hari untuk melakukan pemindaian dan perapian data," jelas Krishna.

Relawan yang berasal dari Jakarta, Malang, Madiun dan Denpasar itu juga sudah disediakan rumah singgah untuk tempat tinggal sementara, di daerah Pondok Bambu. 

Menurut Krishna, sumbangan ini berasal dari seluruh Indonesia yakni daerah Denpasar, Malang, Semarang, Bandung dan juga termasuk buruh migran di Taiwan yang telah mengumpulkan Rp 1,5 juta yang belum dikirim serta TKI di Hong Kong.

Sementara pengelola PDS HB Jassin, Endo Senggono mengucapkan terima kasih dan penghargaan bagi masyarakat.

"Kami merasa terharu dan sangat berterima kasih kepada masyarakat. Ini semakin membuktikan dan membuat kami semakin yakin, bahwa PDS HB Jassin ini adalah aset bangsa, milik semua golongan masyarakat," ujar Endo sembari menerima satu kardus PC.

(nwk/vit)

Selamatkan Istana Sastra Indonesia!

TUESDAY, 29 MARCH 2011 10:00

MUHAMMAD IRHAM
HITS: 892





KBR68H, Jakarta - Koleksi sastra bersejarah di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Jakarta, mulai rusak. Banyak buku-buku dan dokumen sastra bertumpuk dimakan waktu dan kutu-kutu. Teronggok di perpustakaan dan berdebu. Sejarah perjalanan sastra di Indonesia ini terancam dilupakan, karena minimnya dana perawatan dan pengelolaan dari Pemerintah Jakarta. Reporter KBR68H Muhammad Irham mengikuti aksi masyarakat yang menggalang Koin Sastra untuk menyelamatkan Istana sastra Indonesia ini.
Ferdy Firdaus adalah anggota Bengkel Sastra Universitas Negeri Jakarta. Ia masuk ke kelas, tak membawa tas atau buku kuliah. Yang dibawa justru kardus bertuliskan ‘Penggalangan Dana untuk Perpustakaan HB Jassin’.
Di dalam kelas, Ferry beorasi, “Kami mahasiswa sastra UNJ ingin meminta sumbangan, untuk Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang terancam ditutup, karena dananya dipotong menjadi 50 juta rupiah. Kita sebagai mahasiswa sastra harus dipartisipasi. Paling kecil kalian bisa berpartisipasi di trending topic SAVEPDSHBJASSIN di twitter. PDSHBJ itu huruf besar semua “S”-nya dua.”
Keluarnya Surat Keputusan Gubernur Jakarta pertengahan Februari lalu adalah pemicu kegelisahan. Anggaran pengelolaan Pusat Dokumentasi Sastra, PDS, HB Jassin, menyusut tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Menjadi hanya 50 juta rupiah per tahun.
Padahal perpustakaan sastra yang berdiri sejak 1976 ini adalah yang terlengkap dan terbesar di tanah air, kata sastrawan Helvy Tiana Rosa.
“PDS HB Jassin punya karya sastra yang sangat lengkap. Bukan hanya karya sastra yang sudah jadi buku. Tapi, coretan-coretan penyair. Atau surat-surat itu juga disimpan HB Jassin di sana. Jadi kalau kita mau lihat surat menyurat antara sastrawan, ada di situ. Atau surat cintanya, itu disimpan oleh HB Jassin”, lanjut Helvy Tiana Rosa.
Penyusutan dana pengelolaan koleksi sastra membuat banyak kalangan geram. Pusat ingatan sastrawan, peneliti, wartawan dan seniman ini tak boleh dibiarkan lenyap, hanya karena tak ada dana.
Mahasiswa UNJ Menggalang Dana
Dari kelas ke kelas, mereka mengamen menuju kantin. Melintasi lorong-lorong kampus, mahasiswa dari Bengkel Sastra UNJ menadahkan tangan untuk membantu Istana Sastra HB Jassin tetap ada. Penggalangan dana untuk Istana HB Jassin ini dilakukan bertepatan dengan Hari Puisi Internasional, 21 Maret lalu.
Seorang mahasiswa, Dwi Suprabowo membacakan puisi ‘Kerangka’ karya Ujang Duryatna.
Sebuah kerangka bangunan/ Yang menyerupai tempat ibadah/ Ya, itu tempat Ibadah/ Suatu bangunan yang kokoh/ Tapi tak beratap/ Tak berdinding/ Tak berdenting/ Hanya hamparan tanah padang/ Dan sebuah kerangka
“Kita asosiasikan pada Perpustakaan HB Jassin, itu kalau dia berbentuk kokoh, tidak goyah. Kita akan bisa berkiblat ke situ. Itu tempat kita mencari data, puisi dan sebagainya. Di larik ketiga, bait pertama kedua dan ketiga. Di sini adalah kegoyahan dimana si Perpustakaan HB Jassin sendiri. Hanya harapan tanah lapang dan sebuah kerangka”, ujar Dwi menjelaskan arti puisi yang ia bacakan.
Mahasiswa lainnya, Ferdy, juga membacakan puisi.
Belum lagi angin usai menghembuskan perutnya/ Seisi dunia tumpah semesta menjadi jurang/ Impian adalah puncak-puncak gunung/ Sampai kan sembunyi-sembunyi tak bunyi.
Penggalangan dana untuk PDS HB Jassin untuk hari itu selesai. Uangnya disimpan, sebelum diserahkan langsung ke PDS HB Jassin. Risty, anggota tim penggalangan dana menghitung hasil pengumpulan dana.
“Ini buat hari pertama, sekitar 2 jam yah. Kita kumpulinnya, dari Fakultas Bahasa dan Sastra, 914.000 rupiah. Ini baru hari pertama. Ini nanti dilakukan lagi sampai 3 hari ke depan”, kata Risty dengan senyum lebar.
Koin Sastra untuk PDS HB Jassin
Penggalangan dana untuk perbaikan dan pengelolaan koleksi sastra di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, tak hanya dilakukan di Jakarta. Ini sudah melebar ke Bali, Semarang, Depok, dan Yogyakarta. Dengan membaca puisi, pagelaran musik, dan forum diskusi. Direktur Eksekutif Rumah Kata Institut, Krishna Pabichara menggagas Koin Sastra Peduli HB Jassin.
“Kata ‘koin’ itu hanya simbol. Tujuan utamanya bukan besar jumlah uangnya. Tapi seberapa peduli masyarakat Indonesia terhadap masa depan peradaban bangsa. Kehilangan PDS HB Jassin, itu bisa membuat kita kehilangan peradaban. Baik itu dari sudut sastra, mau pun kebudayaan secara luas”, lanjut Krishna.
Krisna yang juga kerap membacakan monolog di acara-acara kebudayaan, memulai Koin Peduli Sastra dengan dirinya sendiri. Ia mengamen di bus kota.
“Saya nguji nyali sebenarnya. Saya memang suka baca puisi, tapi belum pernah mencoba melakukan itu di luar rasa nyaman saya. Saya naik kopaja, ngamen. Sampai pindah tiga kali kopaja. Ya, Alhamdulilah dapat 215.000 ribu. Meskipun deg-degan juga, tapi bahagia, karena ternyata banyak orang yang peduli. Ada yang nyumbang lima ratus, seribu, ada yang dua puluh ribu. Itu kan bukti bahwa mereka peduli: jangan sampai keberadaan HB Jassin ini terancam”, lanjut Krishna.
Ancaman terhadap PDS HB Jassin ini nyata. Dokumen sastra bersejarah, tulisan asli Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Chairil Anwar, juga HB Jassin sendiri, telah lapuk dimakan waktu. Tak terawat baik lantaran minimnya anggaran. Bagaimana nasib pusat dokumentasi yang didirikan Paus Sastra Indonesia ini nantinya?
Gudang Sejarah Sastra itu Tak Terurus
Nada indah biola mengalun dari tangan seorang seniman yang sedang berlatih di pelataran Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Mengisi siang yang sepi di bagian timur Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Ketika memasuki PDS HB Jassin, yang tampak pertama kali adalah foto Hans Bague Jassin, menempel di dinding belakang penjaga perpustakaan. Dengan kacamata berbingkai bulat, baju batik biru dan senyum tipis, foto ini menyambut siapa pun yang datang.
Di sini sepi dan sejuk. Itu yang membuat sastrawan muda Akidah Gauzillah betah berlama-lama di sini. Penulis yang karya sastranya dimuat di majalah sastra Horizon, ini mengakui PDS HB Jassin sebagai arena berbagi ilmu sastrawan dan seniman.
“Saya sendiri paling seneng menulis di perpustakaan. Ya betah di sini, karena di sini juga ada forum-forum diskusi, terus di sini juga tempat berkumpulnya seniman dan sastrawan senior. Itu penting buat pengembangan diri aku. Dan di sini juga jadi pergaulan dan kehidupan itu sendiri”, kata Akidah.
Di PDS HB Jassin tiap Jumat sore berkumpul para sastrawan dalam forum diskusi Meja Budaya. Mereka membahas perkembangan sastra di Indonesia. Di situ, Akidah bisa berbagi pengalaman dengan Martin Alaida. Martin adalah Anggota Dewan Kesenian Jakarta sekaligus penulis cerpen, penyair sekaligus novel. Novelnya dirilis tahun lalu, berjudul ‘Mati Baik-baik, Kawan’. Kata Martin, PDS HB Jassin bukan sekadar tempat dokumentasi sastra.
“Anda jangan melihat PDS HB Jassin ini sebagai tempat di mana sastra itu didokumentasikan. Apakah itu korespondensi para pujangga atau buku atau apa pun dari sastrawan kita. Tapi kodratnya dia sudah berubah. Dia sudah jadi pusat budaya buat anak-anak muda. Kodrat itu sesuatu yang baik. Karena mereka di sini juga berdiskusi tentang musik, sastra, film dan seni tari. Itu dilakukan di luar jam kerja”, lanjutnya.
Arsip adalah pusat ingatan. Pemilik Istana Sastra, HB Jassin meninggal sebelas tahun lalu. Sastrawan berjuluk ‘Paus Sastra Indonesia’ ini meninggalkan koleksi sastranya yang dikumpulkan dari nol, agar bisa dimanfaatkan semua orang. Ariani Isnamutri, Kepala Pusat Pengelola PDS HB Jassin mengatakan, sang sastrawan berpesan agar koleksinya tak dikomersilkan.
“Karena Pak Jassin pernah bilang, ‘Kamu jangan persulit orang untuk mengetahui data tentang sastra’. ‘Kamu jadikan di sini sebagai pusat informasi sastra. Jadi kamu jangan menjual.’ Bahkan sebelum meninggal, ada mimpi yang pernah di ucapkan Pak Jassin. Punya gedung sendiri, yaitu sastra daerah, sastra indonesia, dengan sastra asing”, kata Ariani.
Perempuan setengah baya ini sudah akrab dengan HB Jassin saat masih kuliah dan belajar sastra di Universitas Indonesia. Kata dia, ada lebih 50 ribu koleksi sastra punya HB Jassin yang dikumpulkan sejak 1930. Hampir seluruhnya dalam kondisi tak terawat. Kertas-kertasnya mulai sobek.
Arsip Pusat Ingatan
Di dalam perpustakaan terdapat puluhan rak besi setinggi dua meter. Buku-buku berjubal dan kertasnya mulai copot. Ariani Isnamurti menuju ke salah satu rak khusus dokumentasi sastra dari HB Jassin. Di sini, hampir semuanya dikumpulkan oleh HB Jassin. Bila dokumentasi itu diusap, maka akan menyisakan debu di telapak tangan. Kata Ariani, pendingin ruangan di sini dipasang hanya dari pagi hingga sore hari.
Di pojok perpustakaan terdapat puluhan dus besar berisikan buku-buku hibah. Diantaranya diberikan pemerhati Sastra, Boen S Umaryati dan DS Muliyanto. Namun, buku-buku itu tak terdata selama bertahun-tahun.
Agung Trianggono mengajak KBR68H berkeliling PDS HB Jassin. Pegawai bagian pengolahan buku ini menunjukkan koleksi sastra yang paling lawas dan masih suka dicari pengunjung sebagai sumber penelitian atau novel. Penggunaanya diawasi langsung petugas perpustakaan.
“Ini tahun terbitnya 1900. Buku-buku inilah yang harus diselamatkan, sebab sudah tidak dicetak ulang. Ini buku, karya Alexander Dumas, yang diterjemahkan dalam Bahasa Melayu Tiong Hoa. Di terbitkan di Batavia, cetakan Albert Sip, 1900. Kondisinya mengenaskan. Kertasnya sudah lapuk, dan jahitannya sudah mulai copot”, kata Agung.
Agung sudah bekerja di sini lebih 20 tahun. Gajinya masih di bawah Upah Minimum Regional yang berlaku di Jakarta. Sama seperti belasan karyawan lainnya yang bekerja di sini.
Pola pendataan karya sastra di PDS HB Jasssin terbilang kuno. Setiap karya hanya ditempeli kertas bernomor yang diketik dengan mesi ketik manual. Lokasi karya sastra itu di dalam PDS,lebih banyak mengandalkan ingatan petugas perpustakaan.
Berikut kutipan percakapan KBR68H dengan Kepala Pusat Pengelola PDS HB Jassin, Ariani Isnamutri.
ARIANI: Karena kebiasaan yah. Kebiasaan orang mencari, jadi petugas itu tahu di map ini-itu.
KBR68H: Tapi kalau yang belum terdata bisa juga dipinjamkan?
ARIANI: Nggak. Kalau kita masih ingat sih nggak apa-apa. Karena, daya ingat kita terbatas dengan yang sudah diolah juga.
KBR68H: Nanti bilangnya gimana ke pengunjung?
ARIANI: Ya, minta maaf. ‘Data yang Anda cari belum ada di sini atau belum terolah’.
Reaksi Terlambat Pemda DKI
Begitu terungkap ke media soal melorotnya dana pengelolaan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin menjadi 50 juta rupiah per tahun, Gubernur Fauzi Bowo langsung datang. Ia mengaku silap memeriksa soal ini, dan menjanjikan penambahan dana. Dana yang diminta PDS HB Jassin sebesar 1 miliar rupiah.
Pemprov berjanji akan mewujudkan permintaan PDS HB Jassin. Juru Bicara Pemerintah Jakarta, Cucu Ahmad Kurnia.
“Dana satu miliar itu, karena mereka butuh digitalisasi. Tapi persetujuannya bukan hanya di kami. Itu ada di dewan. Iya, jadi anggaran mereka bukan cuma 50 juta, tapi ada yang terakomodir di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Itu kan hibah namanya, kalau yang itu. Tapi kalau dana untuk rutin, perawatan dan segala macam itu ada. Itu sampai 300 juta teralokasi”, kata Cucu.
PDS HB Jassin membutuhkan dana tersebut untuk merehabilitasi dokumen-dokumen sastra bersejarah yang terlanjur rusak. Sistem pengelolaan buku pun bakal mengarah ke sistem komputer dan digital. Karena besarnya kebutuhan ini, Kepala Pusat Pengelola PDS HB Jassin Ariani Isnamurti berjanji bakal terus menagih janji pemerintah.
Mereka yang peduli dengan terusnya nafas PDS HB Jassin juga tak kalah giat berusaha mengumpulkan koin demi koin demi Istana Sastra sang Paus Sastra Indonesia.
Belum lagi angin usai menghembuskan perutnya/ Seisi dunia tumpah semesta menjadi jurang/ Impian adalah puncak-puncak gunung/ Sampai kan sembunyi-sembunyi tak bunyi/
Demikian SAGA yang disusun Reporter KBR68H Muhammad Irham. Terima kasih sudah mendengarkan.

Senin, 28 Maret 2011

Sepenggal Catatan dari PDS HB Jassin

Ray Jordan - Okezone
Senin, 28 Maret 2011 11:45 wib


Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin (PDS HB Jassin) di Jalan Cikini Raya 73, Menteng, Jakarta Pusat (Okezone)

PEKAN kemarin, HB Jassin menjadi pusat pergunjingan di media massa, baik cetak maupun elektronik tak terkecuali media online di antara isu politik nasional. Di sejumlah milis pun ramai dibicarakan. Puncaknya secara terbuka Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengutarakan permintaan maafnya, sedangkan di sejumlah kampus para aktivis mahasiswa menggalang gerakan koin sastra untuk HB Yasin.

Apa toh yang terjadi dengan HB Yasin? Ya, semua itu berawal dari kisruh dana hibah Pemprov DKI ke Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Di saat genap 11 tahun wafatnya Paus Sastra Indonesia ini, berhembus kabar jika PDS HB Jassin akan ditutup. Ihwalnya, duit hibah dari Pemrov DKI tahun 2011 hanya Rp50 juta per tahun, padahal dana operasional per bulan bisa mencapai Rp200 juta lebih.

Miris juga mendengar kabar ini. Pasalnya, HB Jassin yang wafat dalam usia 83 tahun adalah salah satu tokoh paling berjasa dalam dunia sastra nasional. Bermimpikan sastra Indonesia memiliki tempat dan kedududukan terhorMat di bumi pertiwi, dia mendirikan PDS HB Jassin pada 28 Juni 1976. Sejak saat itu, HB Jassin dengan telaten mendokumentasikan perkembangan sastra Indonesia. Dengan teliti dan tertata rapi, HB Jassin mengumpulkan karya-karya sastra mulai novel, puisi remaja yang tak terkenal yang dipublikasikan di koran atau majalah.

Kemelut PDS HB Jassin ini mengundang penasaran okezone untuk mengetahui lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi.Siang itu di sekitar bangunan lantai dua yang bersebelahan dengan Gedung Planetarium Taman Ismail Marzuki Jakarta, masih terlihat rindang dengan pepohonan. Untuk sampai ke ruangan PDS HB Jassin, harus melewati anak tangga berwarna biru yang terbuat dari plat besi.

Sampai juga akhirnya di sebuah gedung tempat karya-karya satra yang mulai dikumpulkan HB Jassin sejak tahun 1930-an. Udara dingin dan suasana tenang seketika itu terasa menyambut. Yah, lumayanlah untuk sejenak meredakan rasa lelah setelah berjibaku dalam kemacetan Ibu Kota yang kian menjadi-jadi.

Meja panjang warna putih yang dijaga seorang petugas tepat berada di hadapan sebelum mengisi sebuah buku tamu. Namanya Sulastro, saat pertama kali menanyakan maksud kedatangan okezone ke tempat itu. Pria berusia 50 tahun ini mengaku bekerja di PDS HB Jassin sudah 20 tahun.

Dengan ramah dan senyum, Sulastro menyapa, “Bisa dibantu Mas?”
“Ya Pak. Di sini koleksi yang unik dan menarik apa ya?”
Sulastro pun menyahut, “Hhmm... Banyak sih Mas. Tapi menurut saya ada majalah terbitan tahun 1920-an cukup menarik untuk dibaca. Gimana Mas?”

Kebetulan salah satu alasan yang mendorong datang ke pusat dokumentasi sastra ini adalah rasa penasaran terhadap koleksi majalah-majalah lawas yang bersejarah. “Menarik tuh pak. Nama majalahnya apa pak?”
“Namanya Majalah 'Sinpo'. Di sini ada berbagai koleksinya terbitan tahun 1920-an,” ungkap Sulastro.

“Boleh juga tuh pak. Boleh saya pinjam pak buat dibaca di sini? Tapi kalau saya ikut masuk melihat-lihat ruang koleksinya boleh enggak pak?”
“Ohh, silahkan mas. Saya antarkan ya,” ucap Sulastro lagi.

Beruntung juga sih diizinkan masuk ke ruangan koleksi tersebut. Udara di ruangan itu dingin sangat terasa di kulit. “Pak, kok ruangannya dingin banget beda sama yang di luar ya?”

“Oh iya mas karena di sini kan hampir semua dokumen berbahan kertas. Agar lebih awet dibantu dengan sistem pendingin udara. Jadi sedikit agak lebih dingin dari suhu ruangan biasa supaya kertas-kertasnya bisa lebih tahan lama,” papar Sulastro menjelaskan.

Di ruangan koleksi tersebut terdapat rak-rak yang tertata rapi dengan ribuan buku berdasarkan nama pengarangnya. Saking banyaknya buku dan dokumen yang terkumpul, sampai-sampai harus diletakkan di bagian paling atas rak. Bahkan meluber ke bawah lantai di  pojok ruangan ini. Ruangan itu seakan terus menyempit dengan bertambahnya koleksi setiap saat.

Sayangnya, banyak juga buku-buku yang terlihat mulai usang dengan judul-judul masih memakai ejaan bahasa Indonesia lama. Seperti “Boekoe Tjerita Dahoeloe Kala di Benoewa Negri Tjina” terbitan tahun 1886 oleh Lie Kim Hok & Co.Kemudian ada juga buku ”Sair Tjerita Jaitoe Satoe Nasehat Boeat Peringetan pada Anak-Anak Moeda” tahun 1897 yang diterbitkan di Batavia oleh Yap Goan Hu.

Okezone tersenyum membacanya. Agak sedikit kurang lancar untuk mengeja tulisan tersebut karena takterbiasa.Setelah berkeliling cukup lama, sampai juga di penyimpanan koleksi majalah yang dicari, yakni Majalah “Sinpo”. Di rak tersebut terdapat beberapa buku berwarna coklat tua, yang di bagian luarnya ditulis angka tahun. Angka tersebut menandakan terbitan majalah yang terkumpul dalam tahun itu.

“Silahkan dipilih Mas. Saya balik dulu ke depan ya,” ujar Sulastro mempersilakan.
“Oke. Terima kasih Pak.”

Pandangan tertuju pada buku tahun 1929. Buku tersebut kelihatan agak lebih rapi dan tersusun baik, walaupun masih ada tahun terbitan sebelumnya. Buku tersebut bersampul tebal coklat tua dengan panjang sekira 20 cm dan tebal 5 cm. Saat membuka sampulnya tertera tulisan “Sinpo” Wekelijksche–Editie Tahon KA VII, No.327 Saptoe 6 Juli 1929.

Setelah dibuka, banyak sekali iklan promosi yang lengkap dengan gambar atau pada majalah tersebut. Mayoritas iklan-iklan produk kecantikan dan kesehatan. Seperti iklan produk kesehatan “KRACHT PILLEN HERCULES” Hercules Pendekar Paling Koeat. Siapa pernah tjoba ini pil, nanti bilang dirinja djadi loear biasa, ia bergoemeter seperti kena hawa electrisch, bernapsoe dan bergoembira sebagi satoe anak moeda jang paling koeat. Dimana-mana temapat ada terdapet agent.

Begitulah lebih kurang tulisan yang terdapat pada iklan tersebut. Pada iklan ini ada gambar karikatur seorang pria gagah tanpa baju hanya mengenakan kain untuk penutup bagian bawahnya sambil mengangkat tangannya untuk menunjukkan keperkasannya. Dan terlihat juga gambar seorang wanita cantik dengan rambut panjang terurai yang tampak malu sambil membelakangi sang pria. Latar belakang gambar tersebut di sebuah taman.

Begitulah gambaran iklan di surat kabar pada saat itu. Melihat gambar dan tulisannya membuat tersenyum, merasa seperti berada pada masa Indonesia tahun 1920-an.

Selain iklan, tentu saja terdapat artikel-artikel tentang pemberitaan pada massa itu. Salah-satunya seperti pemberitaan “Sinpo” edisi Saptoe 20 Juli 1929 tentang pendirian Kung Sih School. Dalam artikel tersebut diceritakan bahwa akan dibangun sebuah sekolah oleh seorang warga keturunan Tionghoa untuk mengenang suaminya yang tewas dibunuh serdadu Jepang di Pulau Jawa.

“Seperti orang taoe, njonja Tsai Kung Sih telah koendjoengin Java boeat poengoet oeroenan aken diriken satoe sekola boeat peringetken ia poenja soeami Tsai Kung Sih jang diboenoe mati oleh soldadoe Japan di Tsinan setjara kedjam.” Begitulah isi yang diberitakan Sinpo, kala itu.

Dalam majalah ini tidak terdapat lembar yang memuat susunan redaksi. Tapi setelah diperhatikan ada beberapa bidang pemberitaan yakni Indonesia, Tiongkok dan dunia. Banyak sekali pemberitaan yang terkumpul dalam satu tahun pada saat itu (1929). Membaca majalah ini menambah sedikit pengetahuan dan wawasan saya tentang sejarah pada masa itu. Salah satu contohnya pemberitaan tentang pemenang kontes kecantikan di dunia. Dalam beritanya, Sinpo menyebutkan yang menjadi pemenangnya adalah Miss Austria.

“Prampoean paling Tjantik di Doenia. Sebagi hasilnja perlombahan katjantikan ini taon Miss Austria dianggap sebagi prampoean paling tjantik di doenia dan Miss New York sebagi djago kecantikan dari New York.” Tulisan ini ada dalam Sinpo edisi Saptoe 31
Augustus 1929 pada rubrik dunia.

Begitulah sedikit gambaran tentang beberapa koleksi yang terdapat di PDS HB Jassin yang salah satunya mengoleksi majalah masa lalu hingga saat ini. Belum lagi tersimpang banyak karya dari berbagai sastrawan tersohor sampai yang tidak dikenal. Tapi ironis, kondisi PDS HB Jassin ini tengah dilanda masalah anggaran. Pasalnya, terjadi pemangkasan anggaran yang sangat signifikan oleh Pemprov DKI Jakarta. Seperti diungkapkan Ariany Isnamurti, kepala pelaksana PDS HB Jassin.

Ariany menyayangkan kondisi yang terjadi pada PDS HB Jassin saat ini. Menurutnya, pengelolaan PDS tersebut sangat terbentur permasalahan dana. Dana yang dihibahkan untuk PDS mengalami penurunan yang sangat signifikan. "Dana yang cair itu untuk tahun ini hanya Rp50 juta per tahun, jauh dari sebelum-sebelumnya. Dulu bahkan sempat mendapat bantuan dana lebih kurang Rp300 juta, tapi sekarang jauh sekali berkurangnya," ungkap Ariany.

Kendala pendanaan tersebut berimbas kepada masalah administrasi dan pelayanan di PDS HB Jassin tersebut. Proses digitalisasi pun jadi terkendala. Hingga saat ini tempat penyimpananan sastra-sastra Indonesia modern mulai dari tahun 1920-an tersebut belum dilengkapi dengan fasilitas komputer. "Bahkan di kantor saja masih menggunakan komputer jenis lama," terang Ariany.

Mengenai sosok HB Jassin, Ariany menyimpan kenangan tersendiri. HB Jassin, kata dia, sangat cinta dengan sastra. HB Jasin juga ingin masyarakat mencintai sastra. Sebab itu, saat mendirikan PDS, HB Jassin tidak berpikir untung dan rugi sehingga dia rela menyediakan waktu, tenaga dan dana sendiri untuk membangan taman sastra tersebut.

"Pesan Pak Jassin, ini pelayanan masyarakat, jangan kenakan banyak uang ke masyarakat. Jangan persulit orang untuk mengetahui data tentang sastra. Jangan menjual sastra," ungkap Ariany menirukan pesan HB Jassin.

(ram)

PDS HB Jassin, Terlupakan Atau Dilupakan?

Marieska Harya Virdhani - Okezone
Senin, 28 Maret 2011 17:52 wib


PSD HB Jassin (okezone)

JIKA Anda dilupakan oleh seorang sahabat, tentunya pasti akan merasa kesal. Seolah keberadaan Anda tidak lagi dianggap ada dan memiliki arti. Lalu bagaimana dengan kasus Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin yang terancam punah karena tak ada biaya operasional? Kita harus marah pada siapa? Apa mungkin Pemerintah telah melupakan PDS HB Yasin yang merupakan salah satu pusat kekuatan karya sastra dunia?

Nyatanya, PDS HB Jassin terancam ditutup karena tak lagi mampu membayar gaji karyawan serta merawat buku. Anggaran yang diperoleh pihak yayasan bahkan cenderung mengejutkan, yakni hanya Rp50 juta untuk satu tahun. Tentu hal itu timpang jika dibanding dengan organisasi lain seperti Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) ataupun RSPAD Gatot Subroto yang mendapatkan gelontoran dana operasional ratusan juta bahkan mencapai miliaran rupiah.

Mengapa pemerintah provinsi DKI Jakarta kok rasanya sayang mengeluarkan uang untuk merawat gudang ilmu sekelas PDS HB Jassin? Sampai–sampai gerakan menggalang koin sastra seperti kasus Prita Mulyasari kembali terulang dari masyarakat yang merasa prihatin. Rektor Universitas Indonesia (UI) yang juga Sosiolog, Gumilar R Somantri menilai keterpurukan PDS HB Yasin bukan sepenuhnya ada pada kesalahan pemerintah saja. Namun, Gumilar justru menilai PDS HB Yasin bisa jadi kurang mampu menampakkan eksistensinya dan pro aktif dalam hal mencari dana.

“Memang Pemprov DKI sudah mengakui bahwa mereka lalai, namun saya rasa ini bukan kesengajaan, bukan hanya salah pemerintah, lembaga PDS HB Yasin itu harus dipimpin oleh seseorang yang mampu menampakkan eksistensi lembaga itu sendiri dalam hal menyokong masalah pendanaan,” katanya kepada okezone, baru-baru ini.

Selain itu, menurutnya aksi penggalangan dana yang terjadi menunjukkan bahwa keberadaan PDS HB Jassin bukanlah dilupakan tetapi hanya terlupakan. Buktinya, kata dia, masih banyak masyarakat yang mencintai karya sastra. “Aksi galang dana itu baik, menunjukkan bahwa negeri ini masih memiliki orang–orang yang punya value atau nilai yang menghormati dokumen sastra, salah satu indikasi peradaban terus berkembang, dan dengan aksi itu menunjukkan PDS HB Jassin bukan dilupakan tapi terlupakan,” jelas Gumilar.

Berbeda pendapat dengan Budayawan JJ Rizal yang menuding Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang tidak pernah peduli terhadap urusan ibukota, apalagi dengan masalah di internal PDS HB Yasin. Penulis Asrul Sani, kata dia, bahkan pernah menulis bahwa pemerintah memang tidak memiliki hasrat budaya. “Tidak ada atau belum ada lagi gubernur yang seperti Ali Sadikin yang mau peduli dan melatarbelakangi berdirinya PDS HB Yasin. Saat itu HB Yasin memang tengah terpuruk masalah keuangan dan Ali Sadikin berinisiatif untuk membuatkan PDS agar HB Yasin tidak diusir dari rumahnya,” kata JJ Rizal.

Kebetulan, JJ Rizal adalah budayawan yang langsung terjun sebagai pengurus di yayasan PDS HB Jassin sebagai sekretaris. Sehingga, dia bercerita banyak hal terkait kondisi pelik di dalam internal PDS serta rasa geram yang dipendam kepada pemerintah. “Persoalannya kita sudah lama merasa bermasalah dengan manajemen internal, persoalan dana yang membelenggu pusat sastra dunia dengan koleksi 50 ribu lebih karya sastra. Tak ada komputerisasi, tak ada digitalisasi, karena sedikitnya dana yang digelontorkan untuk perawatan karya sastra,” tegas JJ Rizal.

Selama ini, kata Rizal, banyak pihak sudah menyumbangkan dana seperti Coca Cola Foundation hingga partai politik. Namun tak ada satupun yang tulus memberikan bantuan memang didasari kecintaan terhadap karya sastra. “Pernah ada Coca Cola Foundation sumbang komputer tapi yang kualitasnya tidak begitu bagus, tiga bulan rusak lagi. Ada juga partai politik yang tujuannya sangat politis. Itulah sebabnya kami menolak tawaran Nasional Demokrat (Nasdem) salah satunya,” jelasnya.

Bahkan Rizal menolak tawaran baik Universitas Indonesia (UI) yang ingin merangkul PDS HB Jassin. Ia tidak percaya UI mampu mengelola dan merawat karya sastra yang bernilai berlian. “PDS HB Jassin adalah situs sejarah, tak bisa dipindah–pindah, sudah di situ letaknya. Kalau memang UI mau copy data secara digital itu adalah hal yang terlambat. Mahasiswa Malaysia sudah melakukan itu. Intinya kalau tak ada dana dari pemerintah, kami tak punya pilihan lain selain menutup PDS HB Jassin,” tegasnya.

Karena itu, jika pemerintah masih mempunyai rasa memiliki dan tidak melupakan PDS HB Yasin, pasti gudang sastra nasional itu akan kembali bernapas. Sebab kini PDS HB Jassin nyaris tak bernyawa alias mati suri. Krisis keungan PSD HB Jassin membuat pengusaha properti Ciputra prihatin. Dia pun langsung mendatangi temoat dan memberikan bantuan dana senilai Rp100 juta. "Saya lihat di media. Saya sangat prihatin," ujarnya yang datang langsung dan disambut Ketua Dewan Pembina Yayasan PDS HB Jassin, Ajip Rosidi dan Kepala Pelaksana PDS HB Jassin, Ariany Isnamurti.

Minta Maaf
”Bukan saya mengatakan saya tidak tahu bahwa saya yang tanda tangani ini. Hanya, barangkali saya harus minta maaf kalau ini luput dari pengamatan saya.”  Lontaran ini terucap dari Gubernut Fauzi Bowo saat mengunjungi PDS HB Jassin, i Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.

Foke, sapaan Fauzi Bowo juga menyesalkan atas kinerja Pemprov DKI yang mengurangi dana bantuan ke PDS. "Jika PDS HB Jassin tidak kita bantu sama saja orang DKI tidak berbudaya. Dokumen di sini tetap bermanfaat untuk masyarakat," katanya.

Dalam kaitan ini, Mendiknas M Nuh pun menyatakan PDS HB Jassin merupakan aset penting sehingga semua pihak berkewajiban menjaga eksistensinya. "Jadi persoalannya bukan mengambilalih atau tidak. PDS HB Jassin itu aset yang mahal dan penting," ujarnya. Mendiknas mengungkapkan pihaknya juga berkepentingan terhadap PDS HB Jassin. Sehingga akan turut serta melestarikannya. "Karena aset maka semua punya kewajiban untuk ikut mempertahankan dan melestarikan. Diknas juga punya kepentingan sebagai sumber pembelajaran," ujarnya.

Ya, mudah-mudahan sikap serius dari pemerintah ini tidak hanya sebatas janji, tapi direalisasikan dengan kebijakan yang memberikan ruang terhadap pengembangan karya sastra. Salah satunya dengan mempedulikan nasib PDS HB Jassin yang menjadi "taman sastra", tempat generasi sekarang dan seterusnya melihat perkembangan karya sastra nusantara dan umumnya dunia.

PDS HB Jassin ini dimulai sebagai dokumentasi pribadi HB Jassin, sang tokoh sastra yang dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia. Jassin menggeluti pendokumentasian sastra ini dengan dana dan tenaga yang serba terbatas sejak ia mengembangkan minatnya akan dunia sastra dan pustaka pada tahun 1930-an, ketika usianya belum lagi 30 tahun.

Dokumentasinya ini menggugah perhatian Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang akhirnya turun tangan untuk ikut memelihara kelestariannya agar dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Karena itulah Ali Sadikin kemudian memberikan tempat kepada HB Jassin di salah satu gedung yang terdapat di Taman Ismail Marzuki sebagai lokasi Pusat Dokumentasi ini.

Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin didirikan pada 28 Juni 1976. Sejak tahun anggaran 1977/1978, Pemerintah Daerah DKI Jakarta memberikan subsidi kepada yayasan ini yang kemudian berganti nama menjadi Pusat Dokumentasi Sastra. Sementara itu, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga ikut mendukung pembiayaan lembaga ini tahun anggaran l983/l984. Ada pula sumbangan-sumbangan lain dari para donatur tidak tetap.

Pada Mei 2006, pusat dokumentasi ini mempunyai koleksi sebanyak 48.876 dalam bentuk buku-buku fiksi, non-fiksi, naskah drama, biografi dan foto-foto pengarang, kliping, makalah, skripsi, disertasi, rekaman suara, dan rekaman video. Di sini disimpan pula sejumlah surat pribadi dari berbagai kalangan seniman dan sastrawan, seperti NH Dini, Ayip Rosidi, dan Iwan Simatupang.

PDS HB Jassin memberikan pelayanan kepada para pengunjung perpustakaan dan siapa saja yang ingin mencari informasi yang terkait dengan dunia sastra, baik para guru, mahasiswa, sastrawan, di luar Jakarta yang sedang mengerjakan skripsi ataupun disertasi.
(ram)

Membiarkan 'Jendela Dunia' yang Mulai Tertutup

Marieska Harya Virdhani - Okezone
Senin, 28 Maret 2011 18:24 wib


Koleksi PDS HB Jassin (okezone)

PEPATAH menyebutkan bahwa buku adalah jendela dunia. Siapa saja yang akrab bergaul dengan buku tentu dengan mudah mengenal dunia. Salah satu tempat yang paling tepat untuk merawat buku dengan baik tentunya adalah perpustakaan.

Di sana merupakan gudang ilmu yang kaya akan pengetahuan serta pusat peradaban dunia. Namun bagaimana jadinya jika perpustakaan tak mampu lagi merawat buku? Bagaimana bisa setiap generasi penerus melihat dan mengetahui warisan dunia?

Itulah yang terjadi pada nasib Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Salah satu tempat yang memiliki banyak ‘jendela dunia’ itu kini hampir musnah. Sejak tersiar kabar bahwa perpustakaan yang menyimpan puluhan ribu karya sastra itu terancam tutup. Penyebabnya, karena tak ada dana operasional. Kok bisa? Aneh tapi nyata, keberadaan PDS HB Yasin kini seolah memang dilupakan. Padahal, PDS HB Jassin merupakan salah satu pusat karya sastra terlengkap di Indonesia.

Perhatian pemerintah provinsi DKI Jakarta yang terlalu disibukkan dengan berbagai persoalan Ibu Kota yang membludak, membuat PDS HB Jassin semakin terlihat kecil menyempil di tengah segudang polemik Jakarta. Sampai–sampai masalah dana menjadi momok yang selalu terjadi di perpustakaan sastra tersebut.

Bayangkan, untuk menggaji karyawan saja tak bisa, apalagi harus belanja buku ataupun merawat buku. Sistem dokumentasinya saja masih purba. Disusun dengan sistem digital? Sepertinya hanya mimpi. Nasib merana itu harus menimpa sebuah perpustakaan sastra yang didirikan oleh kritikus HB Jassin yang mendedikasikan hidupnya untuk dunia sastra. Maka tak heran, dia digelari sebagai Paus Sastra Indonesia. Tapi, apa gerangan yang terjadi, semua jerih-payahnya seolah-olah dilupakan.

Sekaliber PDS HB Jassin yang menyimpan kekayaan sastra Nusantara nyaris ditutup apalagi perpustakaan biasa yang dikelola alakadarnya. Mungkin sudah menjadi onggokan ruang dengan tumpukan buku usang yang berdebu.  Dengan keadaan seperti itu, salah satu uluran tangan ditawarkan oleh perguruan tinggi negeri Universitas Indonesia (UI). Dengan senang hati, UI bersedia merangkul PDS HB Jassin terutama untuk melengkapi koleksi buku pada perpustakaan UI yang kini tengah dibangun dan diklaim sebagai salah satu perpustakaan terbesar dan terindah se–dunia.

“PDS itu penting bagi bangsa dan negara, karena itu UI berminat. Kebetulan di UI tengah membangun perpustakaan terbesar di dunia seluas 33 ribu meter persegi. Ada dua strategi mengatasi hal ini, pusat dokumentasai ini harus disahkan atau diakses dan dipergunakan masyarakat secara keseluruhan yang mencintai sastra Indonesia. Dijadikan bahan–bahan digitalisasi dengan akses yang tidak terbatas,” ujar Rektor UI Gumilar R Somantri kepada okezone, baru-baru ini.

Caranya, kata Gumilar, dengan memindahkan material atau koleksi sastra yang ada di PDS HB Yasin ke Perpustakaan UI. Bahkan Gumilar memiliki niat mulia untuk membuat pusat sastra HB Jassin di dalam perpustakaan UI. “Tak hanya koleksi buku yang saling melengkapi, nantinya kami akan membuat corner atau pusat sastra HB Jassin di Perpustakaan UI yang pertengahan tahun ini akan diresmikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” jelas mantan Dekan FISIP UI itu.

Gumilar meyakinkan bahwa UI memiliki Information Communication Technology (ICT) yang kuat dan cepat untuk mendigitalisasi karya sastra yang ada di PDS HB Jassin. Tak hanya itu, lanjutnya, jika dokumentasi PDS HB Yasin dipindahkan ke UI seluruh pemanfaatan akan lebih jelas bagi civitas akademisi yang membutuhkan karya sastra.
“Pemanfaatannya jelas, apalagi UI ada Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Budaya (FIB), ini kan library terbuka yang boleh didatangi oleh masyarakat luas, tak hanya dalam bentuk hard copy, kami juga akan bentuk digitalisasi,” paparnya.

Permasalahannya, UI enggan merangkul PDS HB Jassin jika diikutsertakan dengan pegawai yang mengelola pusat sastra tersebut. UI menawarkan pilihan bagi Pemprov DKI Jakarta untuk membantu dana operasional gaji karyawan PDS HB Yasin jika tetap akan dipindahkan ke UI. “Karena itu karyawannya dari UI saja, karena kita juga agak berat kalau harus menanggung semua. Kalau mau DKI tetap harus membantu dari segi pendanaan,” tegas Gumilar.

Rencana UI ini bukan pepesan kosong. Kepala Perpustakaan UI Lucky Wijayanti mengaku sudah menjalin pembicaraan dengan pihak Pemprov DKI Jakarta. Menurut Lucky, yang dilakukan UI hanyalah menyelamatkan karya sastra bagi bangsa dan negara. “Kami sudah menawarkan agar menjadikan karya sastra di PDS HB Yasin untuk didigitalisasi oleh UI, sambil menunggu audiensi dengan Pemprov DKI. Kalau tak boleh dokumentasi, kami akan lakukan digitalisasi,” kata Lucky.

Pihaknya, kata Lucky, sudah menyiapkan ruang seluas 500 meter persegi khusus untuk dokumentasi PDS HB Yasin di Perpustakaan UI. Menurutnya,masih banyak masyarakat yang menyadari dan peduli terhadap pentingnya karya sastra sebagai kekayaan budaya. “Setidaknya masyarakat kita masih banyak yang lebih senang dengan karya local content, yakni khas Indonesia, inilah yang harus diselamatkan,” tandas Lucky.

Namun Budayawan JJ Rizal yang juga pengurus di yayasan PDS HB Jassin sebagai sekretaris, menolak tawaran UI ini. Ia tidak percaya UI mampu mengelola dan merawat karya sastra yang bernilai berlian. “PDS HB Jassin adalah situs sejarah, tak bisa dipindah–pindah, sudah di situ letaknya. Kalau memang UI mau copy data secara digital itu adalah hal yang terlambat. Mahasiswa Malaysia sudah melakukan itu. Intinya kalau tak ada dana dari pemerintah, kami tak punya pilihan lain selain menutup PDS HB Jassin,” tegasnya.

Karena itu, jika pemerintah masih mempunyai rasa memiliki dan tidak melupakan PDS HB Yasin, pasti gudang sastra nasional itu akan kembali bernapas. (ram)

(ahm)