Sabtu, 23 Juli 2011

Jakarta Stage Literature Festival 2011, Melirik Kembali Sastra



Sastra hari ini adalah salah satu dari genre tulisan yang tidak lagi populer. Padahal dimasa kejayaannya beberapa tahun silam. Sastra Indonesia adalah sebuah budaya yang penuh wibawa, penulis- penulis sastra adalah orang-orang populer dengan ratusan penggemar. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer, Armijn Pane atau Marah Rusli yang merupakan orang-orang terkenal di zamannya.

Saat ini mungkin beberapa diantara anda yang masih belum mengenal mereka dan karya- karyanya. Itulah yang membuat Jakarta Stage tergugah untuk menyelenggarakan sebuah festival literasi bernama 'Jakarta Stage Literature Festival 2011'. Festival ini dilakukan untuk kembali mengangkat informasi-informasi yang bukan saja populer hari ini, tapi juga yang tidak populer namun penting untuk kita semua ketahui.

Selain itu, acara ini juga masih dalam rangkaian program membantu Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B Jassin yang hampir ditutup karena pemangkasan anggaran yang tidak rasional oleh pemerintah. 'Jakarta Stage Literature Festival 2011' akan menghadirkan talkshow yang akan diisi oleh Helvy Tiana Rossa, Sudjiwo Tedjo, Clara Ng, Rekti (The SIGIT), Cholil (Efek Rumah Kaca), Anji (ex Drive), Dochi (Peewee Gaskins) dan beberapa pembicara lainnya.

Jakarta Stage Literature Festival 2011 akan diselenggarakan pada tanggal 27-30 Juli 2011 dan kemungkinan akan menghadirkan penampilan dari Efek Rumah Kaca, The SIGIT, Baby Eat Crackers, Anji, Peewee Gaskins, Goodnight Electric, MORFEM, Bottlesmoker dan Seringai.

(Ghiboo)
RELATED ARTICLE

Jumat, 22 Juli 2011

Menjual Warisan HB Jassin

Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin lolos dari maut. Batal mati meski belum ada jaminan akan terus hidup.


Hervin Saputra / Angga Haksoro



Merias sastra. Bersolek agar tak mati.
Jalan masuk Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) Hans Bague Jassin hanyalah jalan setapak selebar dua bahu. Sepeda motor tak mungkin berselisih jalan.
”Jalan tikus” itu berbatas pagar besi setinggi pinggang dengan gedung Planetarium. Jika tak jeli, gang itu tampak seperti jalan menuju gudang di pojok kompleks Taman Ismail Marzuki.
Gedung Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin kini menghadap halaman gedung Teater Kecil yang lapang. Plang nama kecil, satu-satunya petunjuk arah menuju museum sastra tersebut.
Kamis siang minggu lalu, saya mengunjungi PDS HB Jassin. Saya penasaran melihat kondisi tempat tersebut, sejak berita menyebutkan pusat dokumentasi sastra yang berdiri sejak 1976 itu nyaris tutup karena minus anggaran.
Anggaran Rp 50 juta per tahun dari Pemerintah Provinsi Jakarta tidak cukup untuk biaya merawat dokumen-dokumen sastra yang uzur di tempat ini.
Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin sebelumnya menerima dana Rp 500 juta per tahun. Jumlah itu berkurang menjadi Rp 300 juta. Tahun lalu, nafas perpusatakan sejarah sastra Indonesia terbesar itu mulai megap-megap karena hanya menerima dana Rp 164 juta.
Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, membantah mengabaikan PDS HB Jassin. Dia mengaku, soal anggaran itu luput dari pengamatannya.
Ketua Dewan Pembina Yayasan PDS HB Jassin, Ajip Rosidi menyebut angka Rp 1 miliar untuk menjalankan perpustakaan dengan baik. Fauzi Bowo tak keberatan. “Pasti akan ada perubahan anggaran,” kata Fauzi.
Dari depan, gedung Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin tak tampak seperti perpustakaan tempat menyimpan karya sastra Indonesia sejak era kolonial hingga zaman digital. Perpustakaan buah ketekunan HB Jassin mendokumentasikan sastra Indonesia itu terletak di lantai II.
Tepat di bawahnya terdapat sebuah warung. Warung “Irin”. Disebut demikian, karena pemilik warung bernama Irin. Di bawah tangga sejumlah seniman kerap nongkrong. Untuk perpustakaan sekelas PDS HB Jassin, penampilan ini terlalu kusam.
Saya masuk ruang perpustakaan saat hujan baru turun. Suasananya tenang. Khas perpustakaan. Saya bergerak ke pojok kanan selasar. Di dekat petugas perpustakaan, tegak deretan rak katalog dari kayu. Setidaknya ada 135 laci katalog.
Katalog terbagi tiga kategori. Sastra, nonsastra, dan referensi. Saat saya membuka salah satu laci, saya menemukan kertas berlaminating tersusun rapi. Tiap-tiap kertas mencantumkan judul, nama pengarang, dan kode buku atau dokumen.
Tulisan dan angka yang tertera di katalog masih menggunakan huruf cetak mesin ketik. “Pelayanannya masih manual. Masih pakai model lama,” kata Ariany Isnamurti, Kepala Pelaksana Harian Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin.
Menurut Ariany, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin sedang memikirkan upaya mendigitalisasi 50 ribu koleksi dokumen sastra. “Kertas ada batas umurnya.”
Saya mencoba mencari dokumen penyair yang saya kagumi: Afrizal Malna. Di tempat peminjaman buku, saya disambut petugas yang ramah. Seorang pria berusia 40 tahunan.
“Mau cari buku apa, Mas?” tanya petugas.
“Afrizal Malna,” jawab saya.

Petugas langsung mencari dokumen yang saya maksud dalam bundelan katalog. Setelah menemukannya, petugas bergerak ke dalam perpustakaan. Tak sampai lima menit, dia menyerahkan sebuah kotak penyimpan map. Di dalamnya, saya menemukan sejumlah map yang sebagian warnanya pudar.
Setiap map berisi satu dokumen mengenai Afrizal Malna. Saya melihat buku puisi Afrizal yang terkenal Abad yang Berlari cetakan pertama. Di map lain saya melihat buku kumpulan puisi Afrizal dan cerita pendek. Buku-buku itu tidak terlalu istimewa karena masih bisa ditemukan di toko atau pedagang buku loak.
Saya baru menyadari betapa berharga koleksi PDS HB Jassin, setelah melihat sebuah surat pengembalian naskah dari majalah sastra Horison. Surat yang lebih mirip formulir itu tertanggal 3 Maret 1980.
Isinya menyatakan tiga cerita pendek karangan Afrizal berjudul Sang Pengetuk PintuMalam di Kepalaku, dan Tokoh Terakhir, ditolak Horison. Di setiap cerpen, tercantum tanggal penerimaan 25 September 1980.
Kertas lusuh berisi tulisan mesin ketik itu disertai tulisan tangan alamat, Jalan Tongkang Nomor 45, Kramat Senen, Jakarta Pusat. Alamat itu tertera di akhir setiap cerpen. Saya menduga, tulisan itu asli tulisan tangan Afrizal Malna.
Bersama surat itu, terlampir lembaran kertas cerpen Afrizal. Di beberapa halaman saya menemukan coretan spidol dan lingkaran. Salah satunya, saya melihat penggunaan awalan di- dilingkari sebagai koreksi. Sebab, awalan di- yang seharusnya dipisah untuk menunjukkan tempat, ditulis sambung. Mungkin itu salah ketik, karena tidak semua awalan di- untuk menunjukkan tempat ditulis salah.
Surat itu semakin berharga setelah saya melihat nama orang yang menandatanganinya: Sapardi Djoko Damono. Di dunia sastra, Sapardi adalah penyair maestro. Saat surat itu dikirimkan ke Afrizal, Sapardi menjabat Pemimpin Redaksi Horison. Kuat dugaan saya, Sapardi sendiri yang mengoreksi cerpen Afrizal.
Nilai sejarah! Ya, surat itu bernilai sejarah karena posisi Afrizal Malna dalam lanskap sastra Indonesia saat ini. Afrizal yang khas berkepala plontos adalah penyair, prosais, dan penulis naskah teater.
Dia dianggap penyair istimewa era 80-an yang menjadi pembaru setelah masa Sutardji Calzoum Bachri tahun 1970-an. Sajak-sajaknya mewakili kegelisahan transisi budaya masyarakat agaris ke era informasi. Pembahasan mengenai masuknya televisi dalam kultur Indonesia, menjadi salah satu keistimewaan karya Afrizal.
Berapa usia Afrizal saat naskah cerpennya ditolak majalah Horison? Afrizal lahir di Jakarta 7 Juni 1957. Berarti Afrizal baru berusia 23 tahun saat itu.
Ini jejak karya Afrizal ketika merangkak membangun reputasi penyair. Tanpa saya duga , saya menemukan dokumen unik cerpen ketikan seorang penulis pemula yang kelak menjadi besar.
Kejutan menemukan dokumen Afrizal adalah momen “melihat sejarah”. Seperti wisata sejarah ke museum dan gedung tua. Menelusuri masa lalu Afrizal dan memahami apa yang dia bayangkan tentang dunianya saat itu melalui cerpen.
Bisa dibayangkan betapa ”luas” Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Bukan tidak mungkin, kita menemukan jejak sastra era kolonial dan revolusi. Mungkin kita bisa melacak masa muda Chairil Anwar, atau Pramoedya Ananta Toer.
Menurut Ariyani, jika PDS HB Jassin tutup, orang Indonesia yang ingin mempelajari sejarah sastra dan kebudayaan Indonesia secara lengkap, harus mencarinya ke Belanda. “Harus ke Universitas Leiden.”


Nilai perpustakaan yang menyimpan sejarah itulah yang luput dari pengamatan Gubernur Fauzi Bowo. Perpustakaan yang menyimpan sejarah sastra Indonesia itu, dianggapnya cukup ”dihargai” Rp 50 juta.
Bagi pendiri sekaligus Ketua Komunitas Historia Indonesia (KHI) Asep Kambali, naskah usang Afrizal Malna bisa ”dijual”. Naskah bercetak huruf mesin ketik, serta coretan pengembalian dari majalah Horisonbisa dinilai bersejarah sebagai benda. Seperti artefak kuno. “Buat kita itu seksi,” kata Asep.
Menurut Asep, PDS HB Jassin memiliki potensi sejarah yang bisa dikemas lebih menghibur. Dia mengingat proses membangun Komunitas Historia Indonesia tahun 2003.
Komunitas yang didirikan oleh sejumlah mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Indonesia itu dibentuk untuk mengemas pengetahuan sejarah menjadi lebih menarik.
Komunitas Historia misalnya menyediakan paket perjalanan wisata ke beberapa tempat bersejarah di Jakarta. Perjalanan itu dikemas seperti rekreasi. Anak sekolah, bahkan selebritas merasa tidak alergi dengan sejarah.
“Bagaimana caranya mengenalkan sejarah secara fun, gaul, sekaligus menyinggung kepedulian pemerintah,” ujar Asep.
Pada awal masa berdiri, anggota membiayai program KHI dengan merogoh kantong sendiri. Orang tua Asep sempat memintanya meninggalkan Komunitas Historia. ”Uang anggota sudah habis ratusan juta,” kata pria berusia 31 tahun ini.
Mengikuti saran kedua orang tua, Asep sempat bekerja sebagai general manager di sebuah hotel, kepala museum, hingga konsultan hubungan masyarakat. Kecintaannya pada sejarah membuatnya meninggalkan profesi itu.
Sejak 2010 Asep 100 persen mengurus Komunitas Historia. Di sela-sela itu, dia mengajar mata pelajaran sejarah di sekolah menengah atas dan sejumlah perguruan tinggi swasta.
Asep kini tak pusing mencari dana. Dalam sebulan sedikitnya KHI menerima 2 sampai 3 order proyek wisata sejarah. Sejak 2007, Komunitas Historia menangani paket wisata sejarah siswa BPK Penabur.
Setiap tahun, sekitar 300 siswa BPK Penabur ikut dalam perjalanan wisata sejarah KHI. Setiap siswa dikenai biaya Rp 500 ribu. “Coba 500 ribu rupiah dikali 300. Berapa juta itu?” ujar Asep.
Asep menunjukkan bahwa ”jualan” sejarah bisa menghasilkan untung. Potensial secara bisnis sekaligus memberikan pendidikan bagi generasi muda. “Komunitas juga harus berbisnis.”
Komunitas Historia menjalankan kegiatan ini secara profesional dengan melibatkan sekitar 100 orang panitia. “Guidekami kebanyakan mahasiswa sejarah,” kata Asep.
Selain meladeni siswa sekolah, KHI juga melayani paket perjalanan wisata untuk ibu-ibu dharma wanita bahkan selebritas. Menurut Asep, tidak sedikit selebritas yang terlibat dalam kegiatan Komunitas Historia.
Mike VJ MTV misalnya, pernah menjadi pembawa acara wisata sejarah KHI tanpa dibayar. Menurut Asep, selain menumbuhkan kesadaran sejarah di kalangan selebritas, VJ Mike juga memiliki nilai jual sebagai pembawa acara yang peduli sejarah. “Dia jadi punya karakter.”

Komunitas Historia kini memiliki 16 ribu anggota. Setiap anggota berpartisipasi memberikan sumbagan untuk setiap proyek KHI. Publikasi media sekarang tak lagi sulit. “Sekarang media yang nyamperin,” ujar Asep.
Menurut Asep, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin juga bisa dikemas menghibur seperti wisata sejarah KHI. Apalagi, PDS HB Jassin memiliki peminat khusus di bidang sastra. “Sastra punya pasarnya tersendiri.”
Syaratnya, harus ada perubahan pengemasan. Sejarah sastra harus dikemas fun sehingga bisa diterima anak muda. Kesan serius yang selama ini disandang sastra harus dirias sederhana.
”Anak-anak sekarang pragmatis, individualis, hedonis, dan materialis. Kita sebenarnya tidak sulit meracuni anak muda seperti itu dengan sejarah,” kata Asep.
Kepala Pelaksana Harian PDS HB Jassin, Ariany mengakui perubahan kemasan sastra perlu dilakukan. Sejauh ini perpustakaan dengan 14 pegawai itu baru membuat dua rekaman video tokoh sastra, Amir Hamzah dan HB Jassin.
Rekaman video tersebut menampilkan foto masa kecil Amir Hamzah dan HB Jassin, hingga remaja dan belum terkenal. Ada juga rekaman pembacaan puisi. Rekaman ini membuat sastra lebih menarik dipelajari. “Kami baru punya masternya,” ujar Ariany.
Bukan tidak mungkin pula, PDS HB Jassin merancang wisata sastra dengan cara napak tilas kehidupan sastrawan. Ariany menyebut contoh, tahun ini PDS HB Jassin akan merayakan 100 tahun Amir Hamzah, penyair kelahiran Langkat, Sumatera Utara. Akan menarik jika perayaan ini disertai wisata sejarah, mengunjungi tempat-tempat penting dalam kehidupan Amir Hamzah. “Bisa jadi napak tilas kehidupan Amir Hamzah di Langkat,” kata Ariany.
Bisnis wisata sastra ini bisa dilakukan menggunakan metode Komunitas Historia Indonesia. Mempromosikan seluas mungkin perjalanan wisata menelusuri jejak kehidupan sastrawan.
Bagi Asep Kambali, ini bisa dilakukan jika Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin mengubah dokumen manual ke digital dan memiliki anak muda progresif yang mampu mengemas sastra lebih populer. ”Perlu anak muda revolusioner mengelola HB Jassin,” ujar Asep.
Selain soal dana, strategi mendandani PDS HB Jassin agar layak jual harus segera dilakukan. Jika ini berhasil, kelak anak muda Indonesia merasa lebih gaul berlibur ke perpustakaan dan napak tilas kehidupan sastrawan, ketimbang membuang uang di mal. (*)
Foto: VHRmedia/Dian Ali Rahman