Minggu, 20 Maret 2011

Gerakan Koin Sastra untuk Selamatkan PDS HB Jassin Menguak Muka Bopeng Kebudayaan Nasional



20 March 2011 | 14:29

Negara yang berbudayaan selalu menghargai pengetahuan dan karya sastra. Semakin tinggi kebudayaan suatu bangsa tentu semakin tinggi derajat kemanusiaannya dan tentu semakin menghargai arti penting sebuah karya. Terlebih karya pengetahuan dan sastra yang memuat unsur keindahan sebagai cermin kehalusan sebuah masyarakat. Membicarakan hal ini sejenak terlintas tentang film berjudul Agora yang dibintangi aktris cakep Rachel Weisz tentang kisah hidup filsuf perempuan Hypathia seorang sarjana Alexandria Yunani. Tergambar sebuah kisah cinta yang indah serta keberanian seorang Hypathia yang mencintai pengetahuan dan sastra. Hypathia menyelamatkan koleksi perpustakaan dan buku-buku serta kecintaannya yang mendalam pada pengetahuan memberikan impresi yang indah bagi pecinta pengetahuan dan manusia-manusia yang menggandrungi semangat pencerahan. Seorang penulis sejarah Socrates Scholasticus menjelaskan Hypathia sebagai seorang wanita yang bijaksana dan dihormati di Alexandria, ia seorang putri dari filsuf Theon yang mengembangkan sastra dan ilmu pengetahuan. Apa yang dilakukannya membuat semua orang mengaguminya berdasarkan pada martabat luar biasa dan kebajikan. Ia yang menyelamatkan koleksi dengan nyawanya.

Apa yang hendak disampaikan disini bukan berniat untuk terlalu jauh menarik sebuah persoalan namun sebagai upaya untuk mencoba membawa persoalan dalam mencari kejernihan atas persoalan itu. Permenungan menjadi upaya untuk mencari kejernihan seperti itu. Sebagaimana apa yang disampaikan oleh filsuf besar Yunani Socrates bahwa hidup yang tidak ditinjau ulang tidak pantas untuk dihidupi. Gambaran apa yang ada dalam film yang menceritakan kisah perjalanan Hypathia dalam melindungi koleksi perpustakaan karena kecintaannya pada sastra dan pengetahuan itu tiba-tiba terlintas saat sekarang ramai kita dihadapkan pada persoalan yang hampir mirip meski tidak sama. Persoalan dimana pengetahuan dan sastra terpinggirkan dari kehidupan berkebudayaan nasional di Indonesia. Cerita Hypathia itu terlintas seiring munculnya gerakan yang dilakukan para para penggiat sastra di Indonesia yang membuat Gerakan Koin Untuk Menyelamatkan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Sebuah gerakan yang mencerminkan keberpihakan pencerahan dan nalar kritis. Hingga saat membayangkan gerakan yang dilakukan ini tiba-tiba saja terbayang wajah cantik Hypathia di film Agora. O, senyum Hypathia untuk para penyelamat pustaka.

Apa yang terjadi dibalik fenomena seperti ini? Berkurangnya perhatian pemerintah untuk perawatan hasil kebudayaan nasional semakin nampak jelas dalam terancam ditutupnya Pusat Dokumentasi Sastra H. B. Jassin akibat kekurangan biaya untuk operasional dan perawatan koleksi sastra disitu. Hal yang lebih pantas disebut sebagai muka bopeng kebudayaan nasional. Padahal kebudayaan seharusnya merupakan proses yang terus secara aktif dibangun (open ended) yang tentu menuntut biaya yang lebih besar bukan justru terpinggirkan.

Muka Bopeng Kebudayaan Nasional

Jelas di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai acuan bagi tata kehidupan bernegara dalam hal kebudayaan menempatkan kebudayaan sebagai perihal penting yang harus dimajukan oleh Negara (pemerintah) bukan sebaliknya menjadi tersingkir dari hal lain. Pada Pasal 32, UUD 45, sebelum diamandemen menjelaskan Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Pengertian kebudayaan nasional Indonesia ini, dijelaskan dalam penjelasan tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yaitu kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa dijelaskan adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya yaitu kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Karya sebagai bagian dari upaya pembangunan kebudayaan nasional juga mendapatkan payung perlindungan. Tentu ini menjadi mandat bagi pemerintah baik Pemerintah Nasional maupun Pemerintah Daerah untuk -tanpa harus diingatkan- seyogyanya sudah memegang teguh usaha memajukan kebudayaan nasional. Tanpa harus disuruh sudah harus memperhatikan untuk mengalokasikan anggarannya guna pelestarian koleksi dan pengembangan fasilitas yang mendukung kerja kebudayaan. Namun kenyataan yang terjadi ternyata jauh panggang dari api. Ekspektasi itu ternyata tidak terjawab. Apa yang dibangun dan diusahakan pemerintah menjadi tidak mencerminkan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan public (public centered development).

Pusat dokumentasi H.B. Jassin seharusnya dikembangkan lebih dengan dukungan pemerintah untuk lebih memperhatikan perkembangan sastra dan kebudayaan nasional lebih maju serta berkembangnya ruang publik. Koleksi sastra Indonesia modern banyak disimpan di pusat dokumentasi tersebut. Dari berbagai macam karya sastra modern yang terdokumentasikan disitu jelas merupakan kekayaan publik terkait karya sastra. Minimnya subsidi biaya pemerintah untuk PDS HB Jassin menunjukkan kurangnya penghargaan pemerintah terhadap karya anak bangsa. Aset nasional untuk memelihara eksistensi budaya nasional terancam gulung tikar menjadi cermin yang menunjukkan gambar muka bopeng dari kebudayaan nasional di Indonesia.

Bopeng-bopeng semakin banyak terlihat dan tentu lebih banyak lagi jika dibiarkan terus tumbuh. Bopeng kebudayaan juga Nampak pada minimnya ruang publik untuk diselenggarakannya aktivitas kreasi dan ekspresi budaya. Sementara berkaca pada perkembangan negara lain begitu memperhatikan ruang publik untuk laku kebudayaan masyarakatnya. Negara-negara yang maju mutu kemanusiaannya selalu tentu membangun ruang publik untuk ekspresi kebudayaan masyarakatnya. Amerika dan Eropa memiliki gedung untuk konser musik maupun opera dan keberadaan ruang seperti itu sudah menjadi kewajiban untuk dimiliki oleh setiap kota demi memenuhi keadaban publik. China memiliki kesadaran tinggi untuk memajukan industry budaya nasionalnya. Banyak gedung kesenian dan teater yang dibangun. National Grand Theatre Beijing yang diresmikan September 2007 memakan sekitar 3 triliun rupiah. Sebuah angka yang hebat untuk membangun investasi dan menopang eksistensi kebudayaannya. Bahkan Negara tetangga terdekat Indonesia Singapura memiliki gedung konser berskala Internasional.

Yunani yang jauh di masa lampau pun memiliki konsep aphiteater. Minimnya penghargaan ruang budaya di Indonesia pantas untuk terus dikritisi. Budaya kita pun tercerai berai kedalam budaya yang tak tertata tak terbangun. Jangan sampai apa yang tumbuh hanya menggambarkan sebuah culture of masses yang tak tertata sementara jelas apa yang diharapkan dari bangunan kebudayaan nasional Indonesia adalah untuk mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia artinya apa yang belum tertata mesti lebih indah jika tertata tanpa menegasikan keunggulan yang ada didalamnya.

Kalau kita melihat upaya negara-negara lain dalam pembangunan kebudayaannya tentu menjadikan kita berkecil hati -masihkah apa yang menjadi keprihatinan Soe Hok Gie dengan catatannya “kita menjadi pesimis saat melihat realitas bangsa ini” masih harus ada sampai saat ini? Untuk pemeliharaan Pusat Dokumentasi Sastra saja tidak ada itikad baik apalagi untuk membangun gedung untuk konser yang berskala internasional. Pengkritisan yang dilakukan para penggiat sastra di Indonesia dan para seniman pantas dihargai sebagai bagian dalam menyangga keseimbangan publik. Memang diperlukan manusia-manusia kreatif dan kritis di negeri ini agar bopeng-bopeng terobati dan tidak terus menjadi.

Penulis: Janu Wijayanto (Peneliti Public Institute Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar