Selasa, 29 Maret 2011

Selamatkan Istana Sastra Indonesia!

TUESDAY, 29 MARCH 2011 10:00

MUHAMMAD IRHAM
HITS: 892





KBR68H, Jakarta - Koleksi sastra bersejarah di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Jakarta, mulai rusak. Banyak buku-buku dan dokumen sastra bertumpuk dimakan waktu dan kutu-kutu. Teronggok di perpustakaan dan berdebu. Sejarah perjalanan sastra di Indonesia ini terancam dilupakan, karena minimnya dana perawatan dan pengelolaan dari Pemerintah Jakarta. Reporter KBR68H Muhammad Irham mengikuti aksi masyarakat yang menggalang Koin Sastra untuk menyelamatkan Istana sastra Indonesia ini.
Ferdy Firdaus adalah anggota Bengkel Sastra Universitas Negeri Jakarta. Ia masuk ke kelas, tak membawa tas atau buku kuliah. Yang dibawa justru kardus bertuliskan ‘Penggalangan Dana untuk Perpustakaan HB Jassin’.
Di dalam kelas, Ferry beorasi, “Kami mahasiswa sastra UNJ ingin meminta sumbangan, untuk Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang terancam ditutup, karena dananya dipotong menjadi 50 juta rupiah. Kita sebagai mahasiswa sastra harus dipartisipasi. Paling kecil kalian bisa berpartisipasi di trending topic SAVEPDSHBJASSIN di twitter. PDSHBJ itu huruf besar semua “S”-nya dua.”
Keluarnya Surat Keputusan Gubernur Jakarta pertengahan Februari lalu adalah pemicu kegelisahan. Anggaran pengelolaan Pusat Dokumentasi Sastra, PDS, HB Jassin, menyusut tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Menjadi hanya 50 juta rupiah per tahun.
Padahal perpustakaan sastra yang berdiri sejak 1976 ini adalah yang terlengkap dan terbesar di tanah air, kata sastrawan Helvy Tiana Rosa.
“PDS HB Jassin punya karya sastra yang sangat lengkap. Bukan hanya karya sastra yang sudah jadi buku. Tapi, coretan-coretan penyair. Atau surat-surat itu juga disimpan HB Jassin di sana. Jadi kalau kita mau lihat surat menyurat antara sastrawan, ada di situ. Atau surat cintanya, itu disimpan oleh HB Jassin”, lanjut Helvy Tiana Rosa.
Penyusutan dana pengelolaan koleksi sastra membuat banyak kalangan geram. Pusat ingatan sastrawan, peneliti, wartawan dan seniman ini tak boleh dibiarkan lenyap, hanya karena tak ada dana.
Mahasiswa UNJ Menggalang Dana
Dari kelas ke kelas, mereka mengamen menuju kantin. Melintasi lorong-lorong kampus, mahasiswa dari Bengkel Sastra UNJ menadahkan tangan untuk membantu Istana Sastra HB Jassin tetap ada. Penggalangan dana untuk Istana HB Jassin ini dilakukan bertepatan dengan Hari Puisi Internasional, 21 Maret lalu.
Seorang mahasiswa, Dwi Suprabowo membacakan puisi ‘Kerangka’ karya Ujang Duryatna.
Sebuah kerangka bangunan/ Yang menyerupai tempat ibadah/ Ya, itu tempat Ibadah/ Suatu bangunan yang kokoh/ Tapi tak beratap/ Tak berdinding/ Tak berdenting/ Hanya hamparan tanah padang/ Dan sebuah kerangka
“Kita asosiasikan pada Perpustakaan HB Jassin, itu kalau dia berbentuk kokoh, tidak goyah. Kita akan bisa berkiblat ke situ. Itu tempat kita mencari data, puisi dan sebagainya. Di larik ketiga, bait pertama kedua dan ketiga. Di sini adalah kegoyahan dimana si Perpustakaan HB Jassin sendiri. Hanya harapan tanah lapang dan sebuah kerangka”, ujar Dwi menjelaskan arti puisi yang ia bacakan.
Mahasiswa lainnya, Ferdy, juga membacakan puisi.
Belum lagi angin usai menghembuskan perutnya/ Seisi dunia tumpah semesta menjadi jurang/ Impian adalah puncak-puncak gunung/ Sampai kan sembunyi-sembunyi tak bunyi.
Penggalangan dana untuk PDS HB Jassin untuk hari itu selesai. Uangnya disimpan, sebelum diserahkan langsung ke PDS HB Jassin. Risty, anggota tim penggalangan dana menghitung hasil pengumpulan dana.
“Ini buat hari pertama, sekitar 2 jam yah. Kita kumpulinnya, dari Fakultas Bahasa dan Sastra, 914.000 rupiah. Ini baru hari pertama. Ini nanti dilakukan lagi sampai 3 hari ke depan”, kata Risty dengan senyum lebar.
Koin Sastra untuk PDS HB Jassin
Penggalangan dana untuk perbaikan dan pengelolaan koleksi sastra di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, tak hanya dilakukan di Jakarta. Ini sudah melebar ke Bali, Semarang, Depok, dan Yogyakarta. Dengan membaca puisi, pagelaran musik, dan forum diskusi. Direktur Eksekutif Rumah Kata Institut, Krishna Pabichara menggagas Koin Sastra Peduli HB Jassin.
“Kata ‘koin’ itu hanya simbol. Tujuan utamanya bukan besar jumlah uangnya. Tapi seberapa peduli masyarakat Indonesia terhadap masa depan peradaban bangsa. Kehilangan PDS HB Jassin, itu bisa membuat kita kehilangan peradaban. Baik itu dari sudut sastra, mau pun kebudayaan secara luas”, lanjut Krishna.
Krisna yang juga kerap membacakan monolog di acara-acara kebudayaan, memulai Koin Peduli Sastra dengan dirinya sendiri. Ia mengamen di bus kota.
“Saya nguji nyali sebenarnya. Saya memang suka baca puisi, tapi belum pernah mencoba melakukan itu di luar rasa nyaman saya. Saya naik kopaja, ngamen. Sampai pindah tiga kali kopaja. Ya, Alhamdulilah dapat 215.000 ribu. Meskipun deg-degan juga, tapi bahagia, karena ternyata banyak orang yang peduli. Ada yang nyumbang lima ratus, seribu, ada yang dua puluh ribu. Itu kan bukti bahwa mereka peduli: jangan sampai keberadaan HB Jassin ini terancam”, lanjut Krishna.
Ancaman terhadap PDS HB Jassin ini nyata. Dokumen sastra bersejarah, tulisan asli Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Chairil Anwar, juga HB Jassin sendiri, telah lapuk dimakan waktu. Tak terawat baik lantaran minimnya anggaran. Bagaimana nasib pusat dokumentasi yang didirikan Paus Sastra Indonesia ini nantinya?
Gudang Sejarah Sastra itu Tak Terurus
Nada indah biola mengalun dari tangan seorang seniman yang sedang berlatih di pelataran Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Mengisi siang yang sepi di bagian timur Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Ketika memasuki PDS HB Jassin, yang tampak pertama kali adalah foto Hans Bague Jassin, menempel di dinding belakang penjaga perpustakaan. Dengan kacamata berbingkai bulat, baju batik biru dan senyum tipis, foto ini menyambut siapa pun yang datang.
Di sini sepi dan sejuk. Itu yang membuat sastrawan muda Akidah Gauzillah betah berlama-lama di sini. Penulis yang karya sastranya dimuat di majalah sastra Horizon, ini mengakui PDS HB Jassin sebagai arena berbagi ilmu sastrawan dan seniman.
“Saya sendiri paling seneng menulis di perpustakaan. Ya betah di sini, karena di sini juga ada forum-forum diskusi, terus di sini juga tempat berkumpulnya seniman dan sastrawan senior. Itu penting buat pengembangan diri aku. Dan di sini juga jadi pergaulan dan kehidupan itu sendiri”, kata Akidah.
Di PDS HB Jassin tiap Jumat sore berkumpul para sastrawan dalam forum diskusi Meja Budaya. Mereka membahas perkembangan sastra di Indonesia. Di situ, Akidah bisa berbagi pengalaman dengan Martin Alaida. Martin adalah Anggota Dewan Kesenian Jakarta sekaligus penulis cerpen, penyair sekaligus novel. Novelnya dirilis tahun lalu, berjudul ‘Mati Baik-baik, Kawan’. Kata Martin, PDS HB Jassin bukan sekadar tempat dokumentasi sastra.
“Anda jangan melihat PDS HB Jassin ini sebagai tempat di mana sastra itu didokumentasikan. Apakah itu korespondensi para pujangga atau buku atau apa pun dari sastrawan kita. Tapi kodratnya dia sudah berubah. Dia sudah jadi pusat budaya buat anak-anak muda. Kodrat itu sesuatu yang baik. Karena mereka di sini juga berdiskusi tentang musik, sastra, film dan seni tari. Itu dilakukan di luar jam kerja”, lanjutnya.
Arsip adalah pusat ingatan. Pemilik Istana Sastra, HB Jassin meninggal sebelas tahun lalu. Sastrawan berjuluk ‘Paus Sastra Indonesia’ ini meninggalkan koleksi sastranya yang dikumpulkan dari nol, agar bisa dimanfaatkan semua orang. Ariani Isnamutri, Kepala Pusat Pengelola PDS HB Jassin mengatakan, sang sastrawan berpesan agar koleksinya tak dikomersilkan.
“Karena Pak Jassin pernah bilang, ‘Kamu jangan persulit orang untuk mengetahui data tentang sastra’. ‘Kamu jadikan di sini sebagai pusat informasi sastra. Jadi kamu jangan menjual.’ Bahkan sebelum meninggal, ada mimpi yang pernah di ucapkan Pak Jassin. Punya gedung sendiri, yaitu sastra daerah, sastra indonesia, dengan sastra asing”, kata Ariani.
Perempuan setengah baya ini sudah akrab dengan HB Jassin saat masih kuliah dan belajar sastra di Universitas Indonesia. Kata dia, ada lebih 50 ribu koleksi sastra punya HB Jassin yang dikumpulkan sejak 1930. Hampir seluruhnya dalam kondisi tak terawat. Kertas-kertasnya mulai sobek.
Arsip Pusat Ingatan
Di dalam perpustakaan terdapat puluhan rak besi setinggi dua meter. Buku-buku berjubal dan kertasnya mulai copot. Ariani Isnamurti menuju ke salah satu rak khusus dokumentasi sastra dari HB Jassin. Di sini, hampir semuanya dikumpulkan oleh HB Jassin. Bila dokumentasi itu diusap, maka akan menyisakan debu di telapak tangan. Kata Ariani, pendingin ruangan di sini dipasang hanya dari pagi hingga sore hari.
Di pojok perpustakaan terdapat puluhan dus besar berisikan buku-buku hibah. Diantaranya diberikan pemerhati Sastra, Boen S Umaryati dan DS Muliyanto. Namun, buku-buku itu tak terdata selama bertahun-tahun.
Agung Trianggono mengajak KBR68H berkeliling PDS HB Jassin. Pegawai bagian pengolahan buku ini menunjukkan koleksi sastra yang paling lawas dan masih suka dicari pengunjung sebagai sumber penelitian atau novel. Penggunaanya diawasi langsung petugas perpustakaan.
“Ini tahun terbitnya 1900. Buku-buku inilah yang harus diselamatkan, sebab sudah tidak dicetak ulang. Ini buku, karya Alexander Dumas, yang diterjemahkan dalam Bahasa Melayu Tiong Hoa. Di terbitkan di Batavia, cetakan Albert Sip, 1900. Kondisinya mengenaskan. Kertasnya sudah lapuk, dan jahitannya sudah mulai copot”, kata Agung.
Agung sudah bekerja di sini lebih 20 tahun. Gajinya masih di bawah Upah Minimum Regional yang berlaku di Jakarta. Sama seperti belasan karyawan lainnya yang bekerja di sini.
Pola pendataan karya sastra di PDS HB Jasssin terbilang kuno. Setiap karya hanya ditempeli kertas bernomor yang diketik dengan mesi ketik manual. Lokasi karya sastra itu di dalam PDS,lebih banyak mengandalkan ingatan petugas perpustakaan.
Berikut kutipan percakapan KBR68H dengan Kepala Pusat Pengelola PDS HB Jassin, Ariani Isnamutri.
ARIANI: Karena kebiasaan yah. Kebiasaan orang mencari, jadi petugas itu tahu di map ini-itu.
KBR68H: Tapi kalau yang belum terdata bisa juga dipinjamkan?
ARIANI: Nggak. Kalau kita masih ingat sih nggak apa-apa. Karena, daya ingat kita terbatas dengan yang sudah diolah juga.
KBR68H: Nanti bilangnya gimana ke pengunjung?
ARIANI: Ya, minta maaf. ‘Data yang Anda cari belum ada di sini atau belum terolah’.
Reaksi Terlambat Pemda DKI
Begitu terungkap ke media soal melorotnya dana pengelolaan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin menjadi 50 juta rupiah per tahun, Gubernur Fauzi Bowo langsung datang. Ia mengaku silap memeriksa soal ini, dan menjanjikan penambahan dana. Dana yang diminta PDS HB Jassin sebesar 1 miliar rupiah.
Pemprov berjanji akan mewujudkan permintaan PDS HB Jassin. Juru Bicara Pemerintah Jakarta, Cucu Ahmad Kurnia.
“Dana satu miliar itu, karena mereka butuh digitalisasi. Tapi persetujuannya bukan hanya di kami. Itu ada di dewan. Iya, jadi anggaran mereka bukan cuma 50 juta, tapi ada yang terakomodir di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Itu kan hibah namanya, kalau yang itu. Tapi kalau dana untuk rutin, perawatan dan segala macam itu ada. Itu sampai 300 juta teralokasi”, kata Cucu.
PDS HB Jassin membutuhkan dana tersebut untuk merehabilitasi dokumen-dokumen sastra bersejarah yang terlanjur rusak. Sistem pengelolaan buku pun bakal mengarah ke sistem komputer dan digital. Karena besarnya kebutuhan ini, Kepala Pusat Pengelola PDS HB Jassin Ariani Isnamurti berjanji bakal terus menagih janji pemerintah.
Mereka yang peduli dengan terusnya nafas PDS HB Jassin juga tak kalah giat berusaha mengumpulkan koin demi koin demi Istana Sastra sang Paus Sastra Indonesia.
Belum lagi angin usai menghembuskan perutnya/ Seisi dunia tumpah semesta menjadi jurang/ Impian adalah puncak-puncak gunung/ Sampai kan sembunyi-sembunyi tak bunyi/
Demikian SAGA yang disusun Reporter KBR68H Muhammad Irham. Terima kasih sudah mendengarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar